Jumat, 14 Desember 2012

Tan Malaka

60 Tahun Tan Malaka, Peletak Dasar Negara

tan malaka



Pelanduk ini memang berumah tak jauh dari patungnya Lenin. Matanya hewan ini cemerlang menandakan kecerdasan yang maha tangkas. Sikapnya seolah-olah mengukur kekuatan lawannya dan dengan sabar menanti tempo, bilamana dia bisa menghancur-luluhkan musuhnya dengan memakai segala kelemahan musuh itu, walaupun musuhnya itu seekor raja hutan… (Tan Malaka, Madilog, 1942) Cerdik, taktis, dan komprehensif. Itulah sebuah gambaran perjuangan Tan Malaka semasa hidup. Perjuangan Tan Malaka meraih kemerdekaan, mimpi atas sebuah republik, dan penegakan kedaulatan rakyat, mempunyai nafas yang panjang. Dia tidak mudah goyah, pun tidak memberikan celah untuk kompromi dengan bangsa asing yang disebutnya penjajah.


Dia sadar betul bahwa musuh yang dihadapi saudara se-tanah air bukanlah musuh yang ringan. Bayangkanlah bagaimana seekor pelanduk tanpa bertaring tajam melawan raja hutan yang punya taring dan cakar tajam, serta auman yang menggetarkan hati!
Sejak tahun 1920-an, Tan Malaka mulai merakit gambaran republik di atas kertas. Sebelum Bung Hatta dan Soekarno menghasilkan karya tentang Negara Indonesia, Tan Malaka mendahului menuangkan pemikiran tentang Indonesia lewat Naar de Republiek-Indonesia atau Menuju Republik Indonesia, tahun 1924 di Canton.
Ketika baru membayangkan Republik Indonesia, Tan Malaka mengimajinasikan sebuah negara yang mandiri, berdaulat, dan kuat. Buah penanya lahir dari pemikiran dan pergumulan atas idaman Indonesia merdeka. Cita-cita kemerdekaan diinsyafinya sebagai sebuah proses panjang, bukan barang instan yang jadi dalam hitungan bulan.
Di luar negeri, di dalam penjara, maupun selama perjalanan dari kota ke kota di Indonesia, pikiran-pikiran untuk membangun satu tujuan kemerdekaan dan mendirikan sebuah negara Indonesia terus menggema dalam sosok yang kerap hadir di pelbagai kesempatan dengan beragam nama samaran itu.
Seluruh tenaga pria yang kerap memakai topi kebun dan celana selutut ini tercurah untuk membaca, bergumul dengan pemikirannya, serta menuliskan dalam berlembar-lembar catatan. Duabelas tulisan dilahirkan sebelum menginjak tahun 1945, dan belasan lain hadir saat memasuki masa perang revolusi Indonesia 1945 hingga ajal menjemput, 21 Februari enam puluh tahun silam.
Keinginan terbesar Tan Malaka untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat dilanjutkannya dengan tulisan-tulisan lain yang memang sengaja dilahirkannya demi kecerdasan bangsa.
Sebut saja Madilogakronim dari Materilineal, Dialektika, dan Logika yang merupakan penjabaran dari ilmu pengetahuan tentang ketiga hal tersebut sekaligus membangun rasa percaya diri demi menghindari ketergantungan kepada penjajah.
Tan Malaka tidak hanya bicara soal ideologi atau filsafat, namun juga memberikan buah pikirnya lewat berbagai pendekatan yang komprehensif. Jenderal Abdul Harris Nasution bahkan menganggap Tan Malaka sebagai tokoh ilmu militer Indonesia. Ide-ide tentang strategi perang, antara lain dituliskan Tan Malaka dalam Gerpolek, Gerilya, Politik, dan Ekonomi.
Oleh karena itu, terlepas dari pandangan politik seseorang, maka tokoh Tan Malaka juga harus dicatat sebagai tokoh ilmu militer Indonesia untuk selamanya, tulis Nasution di halaman muka buku Gerpolek yang diterbitkan Pusat Jajasan Massa, Jakarta, 1964.
Soal-soal ekonomi juga dipompakan Tan Malaka demi menunjang kedaulatan Indonesia. Dia bahkan berpendapat seluruh kebutuhan masyarakat bisa dipenuhi sendiri sehingga tidak perlu lagi ketergantungan dengan penjajah.
Tan Malaka juga mengangankan tidak ada lagi kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi lewat hubungan dagang dengan penjajah, apalagi hutang. Ketergantungan ekonomi dengan negara lain dinilainya memperlemah kedaulatan bangsa dan menggadaikan bangsa ini.
Dia lebih cocok dengan kemandirian masyarakat. Pemikiran ekonomi Tan Malaka jalin-menjalin dengan Bung Hatta dan sejumlah tokoh lain, membentuk konsepsi eko nomi ideal Indonesia. Bila ekonomi yang dibayangkan para bapak bangsa itu dipegang teguh, niscaya Indonesia terhindar dari amukan badai krisis ekonomi kini.
Tan Malaka tidak hanya meminta para pejuang bangsa untuk mengangkat bambu runcing melawan meriam pe njajah. Dia juga mempelopori upaya pencerdasan masyarakat sekitar yang dinilainya penting dilakukan gerilyawan di waktu luang. Bagi Tan Malaka, kebodohan adalah salah satu pintu masuk penjajahan. Di sejumlah daerah seperti Semarang, Pekalongan, Bandung, dan Yogyakarta, Tan Malaka mendirikan sekolah untuk rakyat. Inilah contoh keberpihakan Tan Malaka kepada rakyaik badarai alias rakyat jelata.
Tanpa kenal lelah, pemuda kelahiran Pandan Gadang itu berbicara mengenai cita-cita negara Indonesia dengan masyarakatnya. Tidak ada cara diplomasi dalam kamus Tan Malaka. Sedikitpun upaya kerjasama dengan penjajah diharamkan olehnya.***********
Laporan wartawan KOMPAS Agnes Rita Sulistyawaty
Sabtu, 7 Maret 2009 | 16:31 WIB

Tidak ada komentar: